Thursday, January 2, 2025

Prelude — The Spark

 Some fires start not with flames, but with questions.

Saya tidak pernah bermimpi menjadi CEO.
Bukan karena saya tidak bercita-cita tinggi, tapi karena saya terlalu sibuk bertanya: apa yang bisa saya ubah?—bukan apa yang bisa saya capai. Di sinilah semuanya bermula: dari keinginan sederhana untuk membuat sesuatu bekerja lebih baik, lebih efisien, lebih manusiawi.

Di awal karier saya, saya melihat banyak sistem yang berjalan sekadar karena “sudah dari dulu begitu”. Banyak keputusan yang diambil tanpa data, tanpa kejelasan arah, atau sekadar ikut arus. Tapi saya percaya bahwa perubahan bukan hanya tanggung jawab mereka yang berkuasa — melainkan mereka yang peduli. Dan saya peduli. Terlalu peduli, kadang-kadang.

Rasa ingin tahu saya tentang manajemen dan organisasi tumbuh dari ketidaksabaran saya terhadap hal-hal yang tidak efisien. Saya mulai menyukai proses, berpikir dalam alur, menyusun strategi, dan membongkar ulang sesuatu agar bisa bekerja lebih baik. Tapi saya juga sadar bahwa sistem hanyalah setengah cerita. Setengah lainnya adalah manusia.

Di titik itulah, saya jatuh cinta pada dunia kepemimpinan.
Bukan karena saya ingin menjadi “bos”, tapi karena saya ingin menjadi penggerak. Bagi saya, pemimpin adalah orang pertama yang datang ketika keadaan gelap, dan yang terakhir pergi ketika semua sudah tenang. Dan saya ingin menjadi orang itu — bukan karena status, tapi karena makna.

Saya mulai membaca, belajar, dan berdiskusi.
Nama-nama seperti Peter Drucker, Simon Sinek, hingga teori ambidexterity mulai membentuk cara berpikir saya. Tapi pelajaran sejati justru datang dari lapangan — dari menghadapi tim yang takut, dari membuat keputusan tanpa cukup waktu, dari mendengar lebih banyak daripada bicara, dan dari tetap berdiri ketika banyak memilih duduk diam.

Lalu datanglah babak baru: dunia digital.
Saat teknologi mulai masuk ke jantung operasional perusahaan, saya melihat peluang yang sangat besar. Tapi saya juga melihat satu hal yang lebih menantang dari teknologi itu sendiri: perubahan perilaku manusia. Dan di sinilah peran pemimpin menjadi semakin krusial — bukan hanya sebagai decision-maker, tapi sebagai culture shaper.

Digital leadership bagi saya bukan tentang menjadi paling canggih, tapi menjadi yang paling adaptif.
Dan saya mulai menyadari, semua pengalaman saya — dari rasa ingin tahu awal, kegelisahan terhadap sistem yang stagnan, hingga semangat membangun orang lain — membentuk saya untuk siap menghadapi era ini.

Bab ini adalah prolog dari perjalanan yang jauh dari selesai. Tapi setiap perjalanan besar selalu dimulai dari percikan. The spark. Dan percikan itu masih menyala, bahkan hari ini.

Post a Comment

Whatsapp Button works on Mobile Device only

Start typing and press Enter to search